Jumat, 25 April 2025

"Perang Dagang US-TIONGKOK, tahap awal transformasi Perang Dunia Ketiga"

Baru-baru ini Presiden Trump mengumumukan kebijakan soal kenaikan tarif dasar impor sebesar 10% ke setiap negara, serta berlaku tarif lebih besar untuk beberapa negara tertentu. Hal tersebut menjadi guncangan bagi sistem ekonomi internasional sebab Trump dinilai sangat agresif, dan memicu terjadinya perang dagang antara US dan Tiongkok, yang meskipun sebenarnya telah terjadi dalam kurun beberapa tahun ke belakang. 


Dalam sudut pandang Machiavelli, seorang pemimpin negara merupakan aktor yang paling bertanggung-jawab atas kedaulatan negaranya. "Rulers obey ethic's of responsibility, rather than conventional religious morality", seorang pemimpin akan lebih mematuhi kode etik pertanggung-jawaban atas kekuasannya dibanding moralitas, sekalipun ia harus melakukan kekerasan untuk menuntaskan tanggung jawabnya tersebut.


Kerja-sama Internasional dalam bidang perekenomian yang merupakan realisasi dari teori Liberalisme, dan sekaligus anti-tesis dari Perang Militer kaum realis, malah melahirkan fenomena baru dalam konflik internasional yaitu PERANG DAGANG. Dalam Cambridge Dictionary, perang dagang merupakan situasi di mana dua negara yang terlibat menaikan tarif impor dan membatasi barang impor demi melindungi perekonomian di dalam negaranya masing-masing.


Trump, melihat potensi kerusakan perekonomian US sebab barang-barang impor dari Tiongkok mulai mendominasi di negri Paman Sam tersebut. Harga yang lebih murah dengan kualitas yang kurang lebih sama membuat konsumen lebih tertarik untuk membeli produk impor dibanding produk dalam negeri. Apabila dibiarkan secara berkelanjutan, tentu saja hal tersebut akan menjadi ancaman bagi pertumbuhan ekonomi negara yang menjadi pasar dari penyuplai produk impor. Langkah Trump sendiri apabila dilihat dari kacamata kaum realis garis keras, sudah tepat karena dalam situasi apapun, kepentingan nasional haruslah menjadi fokus utama. Trump merupakan bukti nyata Machiavellinism.


Konflik dan peperangan dalam Hubungan Internasional merupakan dua isu yang menjadi dasar dari lahirnya ilmu-ilmu dan teori hubungan internasional itu sendiri. Dalam perspektif Liberalis, pencegahan bahkan penyelesaian konflik dapat dilakukan dengan cara depedensi antar negara demi mewujudkan cita-cita perdamaian internasional dan menghindari revitalisasi masif pasca perang. 


Seperti yang sudah-sudah, perang dengan menggunakan kekuatan militer menimbulkan begitu banyak kerugian baik materil maupun moril, dari negara yang terlibat. Meski perang militer tak lagi relevan, isu keamanan internasional masih harus mendapat perhatian seiring berkembangnya sistem teknologi dan informasi di era dunia digital. Perang agaknya sudah sedikit mengalami pergeseran makna yang dulu selalu identik dengan persenjataan, kekerasan dan pertumpahan darah kini bertransformasi dengan ornamen-ornamen baru mengikuti kebutuhan industri. Mungkinkah perang dagang antara dua negara raksasa US, dan Tiongkok menjadi penyulut meletusnya Perang Dunia Ketiga? Apabila merujuk pada perang bersenjata dan dengan kekuatan militer, rasanya tidak, sebab baik US maupun Tiongkok pasti melakukan kalkulasi untung-rugi seandainya perang senjata dilakukan, dan enggan menerima konsekuensi kerugian yang timbulkan dari perang senjata. 


Meski demikian, tidak ada yang dapat memastikan bahwa apakah perang dagang antara dua negara adidaya ini hanya merupakan perang tarif impor, atau justru perang dagang hari ini sejatinya merupakan transformasi dari perang dunia ketiga itu sendiri? 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar