Minggu, 27 April 2025

"Trust Building" Asas yang Terlupakan dalam Proses Diplomasi

Kebijakan Trust Politic merupakan kebijakan Korea Selatan yang dibentuk oleh Park Geun Hye sebagai upaya memperbaiki hubungan bilateral, sertareunifikasi antara Korea Selatan, danKorea Utara. Trust-Building Process On The Korean Peninsula adalah bentuk nyata penerapan Trust Politic terhadap Korea Utara pada masa pemerintahan Park Geun-hye, untuk memperbaiki hubungan antar dua kubu di Semenanjung Korea. Trust Politic yang dikonsepkanoleh Park Geun-Hye berlandaskan asas ”trust” atau kepercayaan dalam setiap kesempatan,dan proses negosiasi dengan pihak Korea Utara, sebab perdamaian tanpa asas kepercayaan dari masing-masing pihak, akan menjadi sulit bahkan mustahil untuk terwujud. Sebuah kebijakan yang tergolong "unik" dan sangat menarik untuk ditelaah dengan mengingat urgensi yang ingin diangkat oleh Park adalah semenguntungkan apapun suatu hubungan bilateral pada konsepnya, maka tidak akan terwujud apabila tidak ada rasa saling percaya di dalamnya. 


Kemudian, apa yang menjadi alasan Park pada akhirnya memutuskan untuk menggunakan metode diplomasi yang pada dasarnya intangible ini dalam upaya reunifikasi dua kubu Korea?

Richard Snyder dalam bukunya: Foreign Policy Decision Making menyatakan bahwa, ada beberapa faktor di luar ruang lingkup pemerintahan dan kenegaraan yang harus diperhitungkan di dalam sistem analisis apapun, termasuk itu dalam menganalisis keputusan seorang kepala negara.

 

Semenanjung Korea yang merupakan cikal bakal dari Korea Utara meupun Selatan dahulu merupakan wilayah kesatuan yang berada dalam pemerintahan kekaisaran yang berkuasa. Di tengah Di tengah keruntuhan masa Kekaisaran Korea, dan kondisi masyarakat yang tidak siap dalam menghadapi perubahan jaman, Jepang melihat sebuah peluang untuk menyebarkan ekspansi serta menjadikan Semenanjung Korea sebagai wilayah kekuasaan mereka.Penjajahan Jepang atas Semenanjung Korea, berakhir pada saat era Perang Dunia II, di mana Jepang menyerah pada sekutu pada tahun 1945,dan mengharuskan Jepang angkat kaki dari Semenanjung Korea. Kekalahan Jepang membawa era baru dalam pemerintahan Semenanjung Korea, namun, justru hal tersebut yang menjadi titik balik perpecahan semenanjung Korea hingga menjadi dua kubu, yang belum menunjukkan reunifikasi hingga era modern ini.

 

Apabila melihat sejarah, Korea Selatan maupun Utara merupakan bangsa yang memiliki kesamaan nilai dan tradisi. Masyarakat Asia Timur memiliki nilai ajaran nenek moyang yaitu nilai Konfusianisme yang bahkan hingga saat ini masih menjadi pedoman dalam berkehidupan social, serta aspek-aspek kehidupan lain. Konfusianisme mengajarkan bahwa sebuah tatanan sosial yang ideal ketika ‘the worldshare in common by all’ yang dapat diartikan bahwa suatu tatanan sosial yang ideal terbentuk ketika setiap manusia memiliki nasib yang sama untuk memiliki kehidupan yang damai. Singkatnya, Konfusianisme mengajarkan perdamaian dalam membentuk dunia yang ideal. Hal tersebut sejalan dengan misi sang kepala negara, Park Geun Hye yang memiliki cita-cita untuk mewujudkan perdamaian di Kawasan regional Asia Timur saat itu. 


Dalam dunia modern yang menomorsatukan sistem dan teknologi ini, manusia sering kali melupakan bahwa sejatinya sistem hanyalah perangkat yang teorganisir dan dijalankan oleh makhluk hidup berakal, dan berperasaan. Negara yang sejatinya merupakan organisasi terbesar juga merupakan sistem dengan manusia-manusia yang menjalankan di dalamnya. Meski terdengar tidak baku, dan tidak professional, pada dasarnya manusia membutuhkan trust, dan secure, sebelum membangun relasi apapun dalam berkehidupan sosial. Trust Politic, mungkin tidak berhasil dalam implementasinya, namun dapat menjadi rujukan dan dapat dipelajari untuk kemudian dikemas lebih baik lagi sehingga sehingga mampu menjadi angin segar untuk dunia diplomasi. Meski sulit, bukan tidak mungkin perdamaian dunia yang selama ini dicita-citakan oleh PBB dapat pelan-pelan diwujudkan walau dengan proses panjang, dan jangka waktu yang belum dapat terpastikan. 

Jumat, 25 April 2025

"Perang Dagang US-TIONGKOK, tahap awal transformasi Perang Dunia Ketiga"

Baru-baru ini Presiden Trump mengumumukan kebijakan soal kenaikan tarif dasar impor sebesar 10% ke setiap negara, serta berlaku tarif lebih besar untuk beberapa negara tertentu. Hal tersebut menjadi guncangan bagi sistem ekonomi internasional sebab Trump dinilai sangat agresif, dan memicu terjadinya perang dagang antara US dan Tiongkok, yang meskipun sebenarnya telah terjadi dalam kurun beberapa tahun ke belakang. 


Dalam sudut pandang Machiavelli, seorang pemimpin negara merupakan aktor yang paling bertanggung-jawab atas kedaulatan negaranya. "Rulers obey ethic's of responsibility, rather than conventional religious morality", seorang pemimpin akan lebih mematuhi kode etik pertanggung-jawaban atas kekuasannya dibanding moralitas, sekalipun ia harus melakukan kekerasan untuk menuntaskan tanggung jawabnya tersebut.


Kerja-sama Internasional dalam bidang perekenomian yang merupakan realisasi dari teori Liberalisme, dan sekaligus anti-tesis dari Perang Militer kaum realis, malah melahirkan fenomena baru dalam konflik internasional yaitu PERANG DAGANG. Dalam Cambridge Dictionary, perang dagang merupakan situasi di mana dua negara yang terlibat menaikan tarif impor dan membatasi barang impor demi melindungi perekonomian di dalam negaranya masing-masing.


Trump, melihat potensi kerusakan perekonomian US sebab barang-barang impor dari Tiongkok mulai mendominasi di negri Paman Sam tersebut. Harga yang lebih murah dengan kualitas yang kurang lebih sama membuat konsumen lebih tertarik untuk membeli produk impor dibanding produk dalam negeri. Apabila dibiarkan secara berkelanjutan, tentu saja hal tersebut akan menjadi ancaman bagi pertumbuhan ekonomi negara yang menjadi pasar dari penyuplai produk impor. Langkah Trump sendiri apabila dilihat dari kacamata kaum realis garis keras, sudah tepat karena dalam situasi apapun, kepentingan nasional haruslah menjadi fokus utama. Trump merupakan bukti nyata Machiavellinism.


Konflik dan peperangan dalam Hubungan Internasional merupakan dua isu yang menjadi dasar dari lahirnya ilmu-ilmu dan teori hubungan internasional itu sendiri. Dalam perspektif Liberalis, pencegahan bahkan penyelesaian konflik dapat dilakukan dengan cara depedensi antar negara demi mewujudkan cita-cita perdamaian internasional dan menghindari revitalisasi masif pasca perang. 


Seperti yang sudah-sudah, perang dengan menggunakan kekuatan militer menimbulkan begitu banyak kerugian baik materil maupun moril, dari negara yang terlibat. Meski perang militer tak lagi relevan, isu keamanan internasional masih harus mendapat perhatian seiring berkembangnya sistem teknologi dan informasi di era dunia digital. Perang agaknya sudah sedikit mengalami pergeseran makna yang dulu selalu identik dengan persenjataan, kekerasan dan pertumpahan darah kini bertransformasi dengan ornamen-ornamen baru mengikuti kebutuhan industri. Mungkinkah perang dagang antara dua negara raksasa US, dan Tiongkok menjadi penyulut meletusnya Perang Dunia Ketiga? Apabila merujuk pada perang bersenjata dan dengan kekuatan militer, rasanya tidak, sebab baik US maupun Tiongkok pasti melakukan kalkulasi untung-rugi seandainya perang senjata dilakukan, dan enggan menerima konsekuensi kerugian yang timbulkan dari perang senjata. 


Meski demikian, tidak ada yang dapat memastikan bahwa apakah perang dagang antara dua negara adidaya ini hanya merupakan perang tarif impor, atau justru perang dagang hari ini sejatinya merupakan transformasi dari perang dunia ketiga itu sendiri?